Tulisan berikut ini tersusun berdasarkan tawaran Pater William J. Byron, SJ, Ten Building Blocks Of Catholic Social Teaching, dalam AMERICA, 31 Oktober 1998 ( lih. www.che.org/members/ethics/docs/) Sementara kewalahan berupaya meneliti sendiri dokumen-dokumen Ajaran Sosial Gereja Katolik, mulai dari Rerum Novarum (1891) s/d Centesimus Anunus (1991) [lih. Kumpulan Dokumen Ajaran Sosial Gereja, tahun 1891-1991, DokPen KWI 1999, 933 hal.], yang berjumlah 13 dokumen, kita telah dibantu oleh Pater ini dengan melihatnya pada 10 Prinsip saja.
Ke-10 prinsip ini diharapkan mudah diingat dan segera dijadikan prinsip bertindak secara konkret. Memang seperti halnya dengan 10 Perintah Allah, kita pun dingatkan untuk berbuat benar dan efektif bagi kemuliaan Allah dan kesejahteraan atau keselamatan seluruh umat manusia dan lingkungannya. Berikut inilah ke-10 prinsip itu:
I. Prinsip Keluhuran Martabat Manusia.
II. Prinsip Penghormatan terhadap Martabat Manusia.
III. Prinsip Berserikat atau Berorganisasi.
IV. Prinsip Keikutsertaan atau Partisipasi.
V. Prinsip Mengutamakan Perlindungan dan Pembelaan Kaum Miskin dan
VI. Prinsip Kesetiakawanan.
VII. Prinsip Pemeliharaan atau Kepengurusan.
VIII. Prinsip Subsidiaritas.
IX. Prinsip Kesamaan Manusiawi.
X. Prinsip Kesejahteraan Umum atau Bonum
Di pertengahan tahun 1990 an, sebuah satgas (satuan tugas) dibentuk oleh Konperensi Wali Gereja Katolik Amerika Utara, guna merumuskan secara ringkas poin-poin ASGK dan Pater WJ Byron telah berhasil meringkaskannya dalam 10 prinsip saja.
Kita sadar bahwa Gereja tidak bisa “tenang-tenang mendayung” di tengah-tengah hirup-pikuk kehidupan bermasyarakat yang semakin pelik dan rumit. Kesadaran serta praksis pastoral yang senantiasa muncul mengiringi kehidupan umat manusia sepanjang jaman. Revolusi industri yang terjadi di Eropa dan kemudian Amerika Utara pada pertengahan abad ke-18 telah mengubah tatanan social feudal-agraris dan menimbulkan masalah-masalah sosial yang memanggil Gereja untuk tanggap peduli dengan ajaran moral dan praksis yang tepat-guna. Harmoni kehidupan yang mengatur hubungan antara Allah dengan manusia, manusia dengan sesamanya, dan manusia dengan seluruh alam semesta – secara evolutif – mengalami pergeseran demi pergeseran, yang tidak hanya konstruktif tetapi juga destruktif.
Ini terjadi sini-kini dan kiranya masih akan terjadi, bila kita tidak hendak bertobat dan beraksi konkret. Dengan menyebut beberapa fenomen saja pada sini-kini, kita telah memasuki kenyataan hidup yang tidak hanya terjadi di Eropa dan Amerika Utara, tetapi juga di depan hidup kita masing-masing. Dalam kesemua fenomen yang telah kita jumpai, sedang kita jumpai dan akan kita jumpai, ke-10 prinsip ASGK sungguh perlu dijadikan poin strategis untuk melihat dan menindak-lanjuti dengan praksis-praksis pastoral yang jitu.
I. Prinsip Keluhuran Martabat Manusia (The Principle of Human Dignity).
“Setiap manusia diciptakan seturut gambaran Allah dan diselamatkan oleh Yesus Kristus, karena itu dia sungguh berharga dan layak untuk menerima penghormatan sebagai anggota keluarga umat manusia” (Refleksi hal. 1). Setiap individu tanpa pandang bulu, apapun sukunya, rasnya, agamanya, kewarganegaraannya, jenis kelaminnya, kondisi ekonomisnya kaya ataupun miskin, jenis pekerjaannya, dlsb, patutlah mendapatkan penghormatan, karena martabatnya sebagai manusia. Dengan prinsip ini, Gereja Katolik tidak bisa menerima bahwa manusia dijadikan sarana untuk mencapai tujuan, tetapi senantiasa menjadi tujuan dari setiap usaha pemberdayaan, penyelamatan, pengembangan atau pembangunan, dlsb. Bisa jadi dengan produk-produk hukum yang gencar hendak digolkan, manusia dijadikan obyek hukum dan bukan subyek. Seperti pernah ditegaskan oleh Yesus: “Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat,…” ( Mrk 2: 27). Mau apa dengan penggantian Pancasila dengan syariat-syariat?
Dengan ideologi-ideologi yang pernah kuat mendasari visi-misi berbangsa dan bernegara di banyak negara yang lepas dari kolonialisme, seperti kolektivisme dalam sosial-komunisme yang ateis, martabat manusia sungguh diinjak-injak; tetapi perlu diketahui juga bahwa demi sebuah mitos kesaktian ”Pancasila”– ideologi berbangsa dan bernegara Indonesia – banyak orang telah dijadikan ”korban” alias ”kehilangan martabatnya”. Nah, mana yang lebih bagus? Komunisme, kolektivisme, kapitalisme yang individualistis, atau ideologi yang berdasarkan agama, tetapi tidak memerdekakan umatnya?
II. Prinsip Penghormatan atas Kehidupan Manusia (The Principle of Respect for Human Life).
“Setiap pribadi, dari saat mulai dibentuk melalui pertemuan sperma dan ovum di dalam rahim ibu sampai matinya secara alami, dari dirinya memiliki keluhuran martabat dan hak untuk hidup sesuai dengan martabatnya” (Refleksi hal. 1-2). Manusia pada setiap tingkat pertumbuhan-perkembangannya dan pada setiap penyusutan- penurunannya mestilah dihormati dan tidak boleh dikorbankan demi orang yang merasa “berharga”, baik secara individual maupun komuniter. Gereja Katolik dari masa ke masa senantiasa memandang kesucian hidup manusia sebagai bagian dari setiap pandangan moral demi suatu masyarakat yang adil dan baik.
Usaha menghancurkan hidup manusia, seperti aborsi, euthanasia, hukuman mati tanpa proses hukum, penelantaran anak-anak dan orang tua, pembangunan reactor nuklir untuk pengadaan listrik yang tidak mengindahkan lingkungan hidup seperti pernah terjadi dengan Chernobyl….adalah bertentangan dengan prinsip ke-2 ini. Sebagai pencinta kehidupan kita mesti saling bergandengan tangan untuk bekerjasama memwaspadai tanda-tanda “pembunuhan” yang terjadi dari hari ke hari: pemakaian zat pengawet makanan seperti formalin, pemakaian pestisida untuk membasmi serangga pada tanaman, pembagian secara gratis kantong-kantong plastik saat kita belanja, menaikkan ribuan balon karet sewaktu pesta kota yang akhirnya jatuh ke laut dan kemudian merusaknya….dst. Upaya menghormati dan mencintai kehidupan tidak bisa diserahkan kepada pihak pemerintah saja, namun mesti ada upaya swadaya dari masyarakat mulai dari keluarga sampai ke lembaga-lembaga yang dibentuk bersama.
III. Prinsip untuk Berserikat atau Berorganisasi (The Principle of Association).
“Menurut tradisi kita, pribadi manusia bukan hanya suci, tetapi juga sebagai makluk sosial. Bagaimana kita ini mengorganisir masyarakat di dalam bidang-bidang ekonomi, politik, hukum dan rencana masa depan, sungguh sangat terkait dengan martaban dan hidup setiap orang dalam kebersamaan bertumbuh-berkembangdi dalam masyarakat” (Refleksi hal. 4). Gereja Katolik menerima prinsip umum bahwa keluarga adalah sel masyarakat, di mana martabat dan hidup manusia dijunjung tinggi.
Karena itu keberadaan keluarga senantiasa harus dilindungi dan tidak bisa diremehkan. Dengan RT-RW sebagaimana dikembangkan di Indonesia, jejaring keberadaan keluarga perlu diteruskan dan dikembangkan, karena dengan cara ini komunitas manusiawi diperhatikan dan dijadikan “platform” atau landasan kokoh untuk bertumbuh-berkembang sebagai insan sosial. Komunitas atau Kelompok Basis Gerejawi yang dijadikan visi-misi mengGereja di Indonesia dan di banyak tempat lain di muka bumi ini, tidak harus dipertentangkan dengan Komunitas atau Kelompok Basis Manusiawi, di mana kita “ada bersama” (bdk. Gabriel Marcel) dalam semangat “Bhineka Tunggal Ika”.
Justru ketika sebagai “kawanan kecil” kita tidak bisa membaur dan secara eksklusif menutup diri, kita hidup bertentangan dengan Injil yakni “mesti menjadi terang, garam atau ragi masyarakat” (lih. Mat 5: 13-14; Luk 13:21). Karena itu berorganisasi bukan hanya kita mengerti sebagai “hak”, tetapi “kewajiban” yang harus kita wujud-nyatakan dalam kehidupan sehari-hari.
IV. Prinsip Keikutsertaan atau Partisipasi (The Principle of Participation).
“Kita yakin bahwa setiap orang mempunyai hak dan kewajiban untuk ambil bagian di dalam hidup bermasyarakat, yakni dengan cara bersama-sama mengupayakan kesejahteraan umum dan suasana baik yang kondusif bagi semua warganya, termasuk yang non-human, khususnya yang miskin dan lemah” (Refleksi hal. 5). Tanpa keikutsertaan, apa saja yang diperuntukkan untuk setiap orang melalui setiap bentuk kelembagaan yang dimiliki oleh masyarakat, tidaklah dapat diwujud-nyatakan. Setiap orang berhak untuk diperhitungkan sebagai bagian lengkap dari setiap lembaga masyarakat, sehingga ia tidak dapat dimarginalisir atau dipinggirkan begitu saja. Ungkapan-ungkapan umum dalam bentuk “demo” atau unjuk rasa dari kelompok-kelompok tersingkir atau pinggiran adalah lazim dari hasrat untuk perwujud-nyataan dari hakekat kemanusiaan kita yang sosial partisipatif ini. Kaum buruh, para pembantu rumah tangga, sudah semestinya mempunyai ruang-lingkup untuk mewujud-nyatakan keikutsertaan mereka secara penuh dalam mensejahterakan bersama, dan bukan hanya dijadikan “mesin” oleh boss serta tuan-nyonya yang merasa sebagai subyek utama untuk menentukan segala-galanya. “Bekerja bukanlah sekedar melakukan tindakan mekanis rutin, tetapi lebih dari itu yaitu manusia ikut serta pada peneruskan karya penciptaan Allah. Jika keluhuran kerja sedemikian kita lindungi, maka dengan sendirinya kita pun menghargai hak-hak para pekerja (buruh, pembantu rumah tangga, karyawan-karyawati, dlsb) agar bisa secara penuh manusiawi bekerja secara produktif dengan menerima gaji layak-mencukupi, mengatur diri mereka dengan berserikat, memiliki hak milik pribadi dan inisiatif pengembangan ekonomi pribadi” (Refleksi hal 5).
Semangat gotong-royong atau mapalus di antara kita, yang cenderung terancam oleh individualisme, patutlah dihidupkan kembali. Sebangat bekerjasama atau kooperatif, yang pernah dijadikan pilihan oleh bapak pendiri bangsa kita Mohammad Hatta, perlu dihidupkan dan diwujud-nyatakan melalui usaha bersama, berkoperasi….dan tidak membiarkan diri dilindas oleh sistem perdagangan bebas di mana kapitalisme modern cenderung menongkrongi sistem perekonomian lokal kita dengan wajah lokal, tetapi perut asing yang mungkin berkantor di Paris, Perancis sana. Contoh konkret: merk DANONE yang nempel pada kemasan Aqua yang kita minum.
V. Prinsip Mengutamakan Perlindungan dan Pembelaan Kaum Miskin dan Lemah Tak Berdaya (The Principle of Preferential Protection for the Poor and Vulnerable).
“Di dalam suatu masyarkat yang dirusak oleh semakin mendalamnya jurang antara kaya dan miskin, tradisi kristiani kita mengingatkan akan adanya pengadilan terakhir (Mat 25: 31-46) dan meminta kita untuk mengutamakan kebutuhan saudara-saudari kita yang miskin dan tidak berdaya” (Refleksi, hal 5). Mengapa demikian? Karena kesejahteraan umum yakni kebaikan masyarakat secara keseluruhan menuntut sikap dan praksis demikian ini. Kebalikan kaya dan penuh daya ialah miskin dan tidak berdaya. Jika kebaikan semua orang, kesejahteraan umum itu semakin menguat, maka usaha mengutamakan perlindungan mestilah ditujukan untuk mereka yang tidak berdaya dan tidak mempunyai hak-hak pribadi lagi. Keseimbangan diperlukan, sebab kalau tidak ada dunia yang satu ini akan hancur berkeping-keping.
Kita di jaman ini tidak bisa meneruskan pendekatan feodalistis dengan penyaluran bantuan-bantuan secara karitatif saja. Mesti ada upaya untuk pemberdayaan yang membebaskan: kaum miskin dan tidak berdaya, mesti bangkit membebaskan diri, sehingga tidak tergantung 100% kepada tuan-tuan dan nyonya- nyonya, kepada negara-negara donatur. Karena itu LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang benar, ialah sekumpulan anggota masyarakat yang karena mau mandiri berupaya bangkit berdikari, dengan bantuan lembaga-lembaga yang mampu, sehingga dalam banyak segi bertumbuh-perkembanglah seluruh anggota masyarakat ini sebagai manusia yang bermartabat. Gereja Katolik di KAJ dengan memateri 25% dari kolekte mingguannya untuk kegiatan SSP, telah memberi sarana untuk melangkah pada prinsip yang satu ini.
VI. Prinsip Kesetiakawanan (The Principle of Solidarity).
“Ajaran Sosial Gereja Katolik mewartakan bahwa kita ini sebagai saudara-saudari yang saling menjaga dan melindungi, yaitu di tempat di mana kita ini hidup. Kita semua ada dalam sebuah keluarga manusiawi…Belajar mempraktekkan keutamaan bersetiakawan berarti belajar ‘mencintai sesama manusia seperti diri kita sendiri’ yang mempunyai dimensi global didalam dunia yang saling tergantung ini” (Refleksi, hal 5). Prinsip kesetiakawanan mempunyai nilai sebagai mata rantai moral yang membimbing kita ke arah pilihan-pilihan untuk memajukan dan sekaligus melindungi kesehterjaan umum.
Di kota-kota besar yang semakin diwarnai oleh keberagaman, tidaklah bisa kita mengurung diri dalam semangat “ghetto”. Yang aku alami dengan masalah sampak, banjir, polusi udara, sakit- penyakit…dialami oleh sesamaku, tetanggaku, yang tidak senantiasa sesuku, seagama, sealiran…dst. Nah, apakah dalam suasana seperti ini, ketika kita tidak puas, lalu mau secara agresif menyalahkan orang lain? Lalui menteror mereka-mereka ini sebagai perusak hidup? Jelas, di dalam suasana keberagaman mesti ditumbuh-kembangkan semangat kesetiakawanan atau solidaritas di antara kita.
VII. Prinsip Pemeliharaan atau Kepengurusan (The Principle of Stewardship).
“Tradisi biblis yang diterima oleh umat katolik menganjurkan kepada kita semua untuk menghargai alam- ciptaan dengan segala isinya ini dengan semangat Allah sendiri, yakni memelihara dan mengurus lingkungan hidup kita” (Refleksi, hal. 6). Tugas melihara berarti juga tugas mengatur, dan bukan sebagai pemilik. Kita ini dititipi oleh Allah buat kemuliaanNya dan kesejahteraan semua, termasuk anak-cucu kita yang belum lahir.
Di jaman sekarang ini, di mana semakin tumbuh kuat kesadaran akan lingkungan hidup fisik, sebagai orang katolik kita dipanggil untuk menunjukkan rasa tanggungjawab moral atas perlindungan lingkungan hidup tanah untuk usaha tani, untuk pengadaan pangan buat ternak kita, untuk tanaman keras yaitu kayu yang kita perlukan untuk bangunan, udara, air, mineral dan sumber daya alam yang lain. Tanggungjawab pemeliharaan berarti mengundang kita juga untuk mengembangkan bakat telenta kita, harta kekayaan kita pribadi, demi untuk kepentingan dan kesehatan bersama seluruh warga.
VIII. Prinsip Subsidiaritas (The Principle of Subsidiarity).
Prinsip ini terutama berkaitan dengan “tanggungjawab kita bersama dan keterbatasan-keterbatasan pemerintah serta peranan utama lembaga-lembaga swadaya masyarakat” (Refleksi hal 6). Prinsip subsidiriaritas ini muncul ke kesadaran kristiani kita, bertitik tolak dari fakta bahwa pemerintah tidak bisa bertindak di atas segala-galanya yakni dengan mengabaikan peranan masyarakat bawah yang mengerti seluk-beluk permasalahan warganya dan dapat menyelesaikannya secara efisien dan efektif, baik secara individual maupun kolektif. Pemerintaah yang menerapkan pendekatan kooptatif dan sekaligus opresif, cenderung membodohi rakyat, dan kalau personiilnya korup berujung dengan pemiskinan seluruh negeri. Karena pertahanan nasional yang didasarkan partisipati atau keikutsertaan aktif rakyat dilemahkan. Prinsip subsidiaritas berarti membatasi peran pemerintah dan menumbuhkan peran bawahan yaitu rakyat, baik sebagai individu maupun kelompok.
Gereja Katolik di masa lampau mengalami bahwa di negara-negara komunis, yang menerapkan sistem totaliter — di mana negara mengatur semua aspek kehidupan, dan rakyat (oklos) yang mempunyai bakat menjadi sub-sistem — rakyat diperlakukan secara tidak adil dan bertentangan dengan nilai-nilai Kerajaan Allah. Bagaimana dengan iklim perdagangan bebas, apakah sub-sistem juga tetap bisa jalan? Jelas tidak! Pasar-pasar tradisional cenderung mati, supermarket dengan mini-mini market, sedang melumpuhkan para pedagang kecil. Para petani di Indonesia menjadi semakin tidak berdaya, bila tidak dibela dan dilindungi dari arus perdagangan bebas dengan mana import hasil pertanian membludag…sampai ke dusun- dusun terpencil.
IX. Prinsip Kesamaan Manusiawi (The Principle of Human Equality).
“Kesamaan semua orang datang dari keluhuran mereka yang mendasar…Sementara perbedaan talenta atau bakat adalah bagian dari rencana Allah sendiri. Karenanya diskriminasi sosial dan budaya sungguh-sungguh bertentangan dengan rencana Allah” (Kesimpulan, hal. 23-24). Memperlakukan semua orang sebagai sesama, karena sama sebagai makluk ciptaan Allah, dalam tradisi, khususnya dalam Sila ke-2 Pancasila, “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, berarti memperhatikan keadilan dan sekaligus keadaban setiap orang, meskipun mungkin masih hidup pada jaman batu sekalipun. Sekat-sekat yang didasarkan agama, misalnya membedakan antara yang beriman dan kafir, dengan sendirinya tidak bisa diterima. Karena itu bangsa Indonesia yang mempunyai motto “Bhineka Tunggal Ika” ini, dengan sendirinya mesti setia kepada penerimaan diri yang diproyeksikan melalui visi-misi hidup berbangsa dan bernegara yaitu “meskipun kita ini berbeda-beda, tetapi kita tetap satu, yaitu satu nusa, satu bangsa, satu bahasa Indonesia”. 100 tahun lalu kesadaran ini dicanangkan dan semoga tetap kita lestarikan.
Bila kita perhatikan diagram di bawah ini, maka dapat kita cermati bahwa prinsip Kesamaan Manusiawi, membawa kepada konsekuensi holistik, karena bisa menyinari berbagai macam segi kehidupan yang kompleks dengan membawa nilai-nilai luhur bedasarkan pada visi manusiawi kita yang tepat.
X. Prinlsip Kesejahteraan Umum atau Bonum Commune (The Principle of the Common Good).
“Kesejahteraan Umum atau Bonum Commune kita mengerti sebagai kondisi manusiawi yang mengijinkan setiap orang dalam kebersamaannya boleh mencapai kepenuhan manusiawinya dan dapat mewujud- nyatakan keluhuran mereka” (Kesimpulan, hal 25). Yang dimaksudkan ialah : penghormataan kepada setiap individu; kebaikan dan perkembangan mereka sebagai kelompok, yang oleh kewibawaan publik (bisa oleh pemerintah atau oleh lembaga swadaya masyarakat) dipegang teguh guna menciptakan suasana damai dan aman. Di masa globalisasi ini, kondisi yang bisa menjamin kesejahteraan umum tidak hanya diatur di setiap negara, tetapi harus diciptakan dan dipromosikan struktur kelembagaan internasional, sehingga kesejahteraan umum dialami oleh setiap negara dan setiap bagian yang ada di atas planit yang satu ini.
Yang bergumul dengan masalah-masalah perburuhan bukan hanya orang-orang di Jakarta, di Indonesia, tetapi juga di ujung dunia yang lain. Yang sadar dan secara agresif memperjuangkan pelestarian lingkungan hidup bukan hanya di negara-negara maju yang kena dampak langsung dari “global warming”, tetapi juga di setiap ujung bumi di mana kaki kita ini berpijak yang juga kena dampak langsung dari soal yang sama.
Dengan 10 prinsip tersebut di atas, kita tidak hanya mau menambah wacana dengan nilai-nilai yang mau meyakinkan kita, atau disebut juga lex credendi, tetapi mau mendorong kita untuk membuat agenda-agenda praksis pastoral, yang berarti lex agendi , yakni nilai-nilai yang harus kita wujud-nyatakan melalui apa saja yang mesti kita agendakan untuk dikerjakan. Dengan kata lain, dengan ke-10 prinsip kita mau bekerja dan tidak mau puas dengan santapan sabda yang memenuhi daya kemampuan intelektualitas
Selamat membaca, mencerna dan mewujudnyatakannya.
Penulis : P. Wardjito SCJ
Discussion about this post